Pemerintah Indonesia resmi menerapkan pajak terhadap rokok elektrik mulai 1 Januari 2024, yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143/PMK/2023. Langkah ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mengendalikan konsumsi produk tembakau, termasuk rokok elektrik yang semakin populer di kalangan masyarakat. Pajak ini sejalan dengan kebijakan cukai yang sebelumnya telah diterapkan pada produk hasil tembakau lainnya, seperti sigaret, cerutu, dan tembakau iris.
Penerapan pajak atas rokok elektrik ini diharapkan dapat menekan konsumsi barang yang mengandung zat adiktif dan meningkatkan pendapatan negara dari sektor cukai. Rokok elektrik termasuk dalam kategori barang kena cukai sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Barang Kena Cukai (BKC) ini meliputi produk yang berbasis tembakau, dan rokok elektrik masuk dalam kategori hasil pengolahan tembakau lainnya.
Kebijakan ini diproyeksikan akan berdampak langsung pada para pelaku usaha yang bergerak di bidang produksi dan distribusi rokok elektrik. Produsen dan importir rokok elektrik harus mematuhi aturan baru terkait tata cara pemungutan, pemotongan, dan penyetoran pajak. Sementara itu, konsumen akan merasakan dampaknya melalui kenaikan harga produk.
Selain bertujuan mengendalikan konsumsi, kebijakan ini merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan pendapatan negara melalui cukai. Penerapan pajak atas rokok elektrik juga menjadi bentuk adaptasi pemerintah terhadap perkembangan teknologi dan perubahan pola konsumsi masyarakat, terutama dengan semakin meluasnya penggunaan rokok elektrik sebagai alternatif rokok konvensional.
Dengan adanya penerapan pajak ini, pemerintah berharap dapat mencapai keseimbangan antara pengendalian konsumsi zat adiktif dan peningkatan pendapatan negara dari sektor cukai, sehingga turut mendukung tujuan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
(R.P)