
Seperti yang sudah sering kita lihat di manapun dan kapanpun bahwa sistem pembayaran digital di Indonesia saat ini sudah banyak dan lebih dimudahkan, yaitu salah satunya adalah QRIS (Quick Response Code Indonesia Standard). QRIS diluncurkan oleh Bank Indonesia sebagai otorisasi independent dalam kebijakan moneter dan sistem pembayaran digital. Selain mempercepat transaksi, QRIS juga memperluas akses keuangan hingga ke pelosok negeri dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Seringnya penggunaan QRIS membuat timbul pertanyaan, apakah QRIS dikenai pajak? Apakah saat penggunaan QRIS ada pajak yang melekat? Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah bisa “iya” dan “tidak”, hal ini tergantung siapa aspek yang terlibat dan bagaimana transaksi dilakukan.
Berikut adalah beberapa aspek yang dikenai pajak atas pemanfaatan QRIS:
PJSP singkatan dari Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran, ini adalah pihak yang menyediakan jasa sistem pembayaran, seperti bank, fintech, atau lembaga keuangan lainnya yang terlibat dalam proses transaksi pembayaran digital, termasuk sistem QRIS. PJSP memperoleh penghasilan dari fee, komisi, atau biaya layanan kepada merchant yang menggunakan sistem pembayaran mereka.
Singkatnya PJSP adalah pihak yang berperan dalam memfasilitasi transaksi pembayaran digital, baik melalui QRIS maupun sistem pembayaran lainnya. Mereka memperoleh penghasilan dari layanan tersebut dan bertanggung jawab atas proses transaksi pembayaran yang terjadi. Dari sisi pajak, mereka akan dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa layanan elektronik (jika dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak atau PKP) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan dari fee atau komisi. Jadi, ketika penyedia QRIS mengenakan biaya kepada merchant, fee tersebut merupakan objek pajak yang harus dilaporkan.
Dalam konteks bisnis, merchant adalah penjual atau pedagang yang menawarkan produk atau jasa, baik secara online maupun offline. Istilah ini sering digunakan dalam konteks e-commerce, marketplace, dan pembayaran digital, di mana merchant adalah pihak yang menjual barang atau jasa melalui platform digital dan menerima pembayaran online.
Merchant yang menerima pembayaran melalui QRIS tetap memiliki kewajiban pajak atas transaksi yang dilakukan, terlepas dari metode pembayarannya. Jika merchant merupakan PKP, maka merchant tersebut wajib memungut dan menyetor PPN atas penjualan barang atau jasa kena pajak. UMKM dapat dikenai PPh Final UMKM berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022), selama omzet belum melebihi Rp500 juta. QRIS disini tidak mengubah skema perpajakan. Merchant hanya menggantikan media pembayaran, bukan jenis usahanya.
Dari sisi konsumen, tidak ada kewajiban pajak baru yang timbul karena menggunakan QRIS, konsumen hanya membayar harga barang atau jasa seperti biasa. Jika barang/jasa tersebut memang kena PPN, maka PPN sudah termasuk dalam harga (atau ditambahkan secara terpisah), artinya, konsumen tidak membayar “pajak QRIS” secara terpisah.
Dalam ekosistem QRIS, terdapat istilah merchant discount rate (MDR), yaitu biaya yang dibebankan kepada merchant oleh penyedia QRIS setiap kali terjadi transaksi. Apabila kita melihat dari sisi merchant, MDR bisa menjadi biaya operasional yang dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam perhitungan PPh, sedangkan bagi penyedia QRIS, MDR merupakan penghasilan, sehingga menjadi objek PPh dan mungkin juga dikenai PPN jika tergolong Jasa Kena Pajak.
Berdasarkan beberapa hal diatas, QRIS sebagai alat pembayaran tidak dikenai pajak secara langsung, Namun, jasa penyediaan sistem QRIS dan transaksi ekonomi yang terjadi melalui QRIS tetap berada dalam pengawasan sistem perpajakan, sehingga potensi pajak bisa lebih terpantau dan adil karena transaksi memiliki dokumentasi yang jauh lebih akurat.
(T.M)