Tahun 2020 merupakan ujian yang berat bagi bangsa Indonesia. Pasalnya musibah pandemi Covid-19 yang melanda dunia termasuk di Indonesia memberikan dampak yang sangat besar di seluruh aspek kehidupan masyarakat, terutama dibidang perekonomian. Melalui insentif pajak ini, wajib pajak dapat menekan uang yang dikeluarkan dan dapat dipergunakan untuk kepentingan lain yang lebih mendesak. Pemerintah berinisiatif memperluas penerima insentif pajak seperti Pajak Penghasilan Pasal 21. Pandemi tersebut membuat perubahan pada:
Terdapat beberapa insentif Pajak diantaranya:
Persyaratan karyawan yang bisa mendapatkan pembebasan Potongan PPh Pasal 21, setidaknya harus memenuhi syarat sebagai pekerja yang berhak menerima Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah, diantaranya yaitu:
Insentif PPh Pasal 21 pegawai dapat memanfaatkan insentif pajak tersebut sampai dengan Masa Pajak Desember 2020, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 110 Tahun 2020 terdapat Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah sebanyak 1189 bidang usaha. pada Pasal 2 ayat (8) PMK Nomor 86 tahun 2020 apabila dalam hal pegawai atau karyawan yang menerima insentif PPh Pasal 21 yang ditanggung Pemerintah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Orang Pribadi tahun pajak 2020 dan menyatakan kelebihan pembayaran, maka kelebihan pembayaran yang berasal dari PPh 21 ditanggung Pemerintah ini tidak dapat dikembalikan.
Apabila Perusahaan yang ingin mengajukan pembebasan PPh 21 bisa menyampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat perusahaan tersebut terdaftar, dalam Penyampaian permohonan insentif PPh 21 ditanggung Pemerintah ini melalui situs resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan cara:
Setelah memanfaatkan insentif pajak dampak Covid-19 berupa PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah, kemudian melaporkan realisasinya ke Direktorat Jendral Pajak, dan lakukan juga pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan/Masa PPh Badan Anda tepat waktu untuk menghindari sanksi denda keterlambatan.
Penanganan dampak pandemi virus Corona perlu dilakukan perluasan sektor yang akan diberikan insentif perpajakan yang diperlukan selama masa pemulihan ekonomi nasional dengan memberikan kemudahan pemanfaatan insentif yang lebih luas, Belum lama ini Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86 Tahun 2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib pajak Terdampak Wabah Virus Corona Pada Tanggal 14 Agustus 2020. Pemerintah mencabut Peraturan Menteri Keuangan tersebut dinilai sudah tidak tepat, dan digantikan dengan peraturan terbaru yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110 Tahun 2020 tentang insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Covid-19. Didalam Peraturan Menteri Keuangan terbaru, PMK 110 tahun 2020 Angsuran PPh Pasal 25 Masa Pajak April 2020 - Juni 2020 Pengurangan sebesar 30% dan angsuran PPh Pasal 25 Masa Pajak Juli 2020 - Desember 2020 sebesar 50%.
Persyaratan Wajib Pajak yang mendapatkan insentif pajak yaitu:
Klasifikasi Lapangan Usaha yang mendapatkan insentif pajak tercantum pada:
Terdapat 1.013 bidang usaha yang memenuhi syarat untuk mendapatkan diskon 50%. Apabila Wajib Pajak termasuk dalam kategori bidang usaha yang berhak, wajib pajak dapat menyampaikan pemberitahuan kepada kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan format sesuai contoh lampiran yang terdapat pada PMK 110 Tahun 2020.
Pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 berlaku sejak:
Wajib pajak atau perusahaan yang bergerak di bidang eksportir dan non eksportir dapat menerima insentif pajak PPN, sesuai dengan peraturan Menteri keuangan PMK 44 Tahun 2020 yang telah di cabut menjadi PMK 86 Tahun 2020, dapat memanfaatkan insentif PPN berupa percepatan restitusi Surat Pemberitahuan Masa PPN untuk Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak Desember 2020 dan disampaikan paling lama tanggal 31 Januari 2021. Wajib pajak harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Ketentuan mengenai Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud sebanyak 716 bidang usaha.
Kriteria perusahaan yang dapat memanfaatkan insentif PPN adalah:
Perusahaan yang memenuhi kriteria tersebut dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagai PKP beresiko rendah.
Ketentuan PKP yang memiliki risiko rendah:
Untuk mendapatkan insentif PPN ini, perusahaan harus melampirkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai tata cara pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.
Di tengah pandemi para pelaku usaha mendapatkan insentif pajak Pasalnya, diatur dalam PMK 44 tahun 2020 kemudian dicabut menjadi PMK 86 Tahun 2020 Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang Terdampak Pandemi virus corona.
Berdasarkan peraturan tersebut wajib pajak yang memiliki peredaran bruto mendapat fasilitas pajak penghasilan final tarif 0,5% (PMK 23/2018) yang ditanggung pemerintah. PPh final ditanggung Pemerintah diberikan untuk Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak Desember 2020.
Pemerintah membebaskan PPh Pasal 22 Impor pada perusahaan yang memiliki kode klasifikasi lapangan usaha sesuai yang tercantum dalam peraturan yang diperbarui PMK 110 Tahun 2020 yang sebelumnya sudah ada pada PMK 86 Tahun 2020. Besarnya tarif PPh Pasal 22 Impor yang dipungut oleh Direktorat Bea dan Cukai berdasarkan Peraturan Menteri mengenai pemungutan PPh Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
Kriteria Wajib Pajak yang dibebaskan dari pemungutan PPh 22 Impor antara lain:
Klasifikasi Lapangan Usaha yang mendapat inentif PPh Pasal 22 impor yaitu:
Untuk mendapatkan surat ini, wajib pajak membuat pengajuan secara online melalui laman Pajak.go.id, serta melampirkan Keputusan Menteri Keuangan yang menunjukkan penetapan sebagai perusahaan mendapatkan fasilitas KITE dan melampiri mengenai izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB.
Jangka waktu pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 impor berlaku sejak tanggal Surat Keterangan Bebas diterbitkan sampai dengan tanggal 31 Desember 2020. Wajib Pajak menyampaikan laporan realisasi pembebasan PPh Pasal 22 Impor tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Pemerintah menambahkan insentif pajak untuk bidang usaha pada PMK 110 Tahun 2020 di antaranya atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi. berdasarkan Peraturan tersebut mengenai PPh atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenai PPh yang bersifat final yang di tanggung Pemerintah.
PPH final dari penghasilan usaha jasa konstruksi dapat dilunasi dengan cara:
Pengguna Jasa konstruksi melakukan pembayaran dalam pelaksanaan P3-TGAI kepada Wajib Pajak Penerima P3-TGAI dan tidak melakukan pemotongan PPh final. Bagi pengguna Jasa konstruksi tidak diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak. Insentif Pajak final pengguna Jasa konstruksi ditanggung Pemerintah sampai dengan Masa Pajak Desember 2020.
Pemotong Pajak menyampaikan laporan realisasi PPh final ditanggung Pemerintah melalui laman website www.pajak.go.id dengan menggunakan formulir yang terdapat di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK. 03/2020 dalam Lampiran huruf R yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan.
Pemotong Pajak harus membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan “PPh FINAL JASA KONSTRUKSI DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR … /PMK.03/2020”. Pemotong Pajak menyampaikan laporan realisasi PPh final ditanggung Pemerintah mengenai Jasa Konstruksi paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Pemerintah telah menerbitkan kebijakan yang membebaskan bea masuk dan pajak dalam rangka impor atas importasi berbagai barang untuk penanganan virus Corona (Covid-19). Ketentuan itu tertuang dalam:
Fasilitas kepabeanan dan/atau cukai yang diberikan atas impor barang untuk keperluan penanganan Pandemi Virus corona berupa:
Impor barang yang mendapatkan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan untuk penanganan pandemi virus corona dapat dilakukan melalui pusat logistik berikat.
Fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan untunk penanganan virus corona juga diberikan terhadap pengeluaran barang asal impor dan/atau tempat lain dalam daerah pabean dari:
Jenis barang impor yang diberikan fasilitas kepabeanan pada PMK 83 Tahun 2020 berjumlah 49 alat kesehatan, sebelumnya alat kesehatan yang ada pada PMK 34 Tahun 2020 berjumlah 73, hal ini berkurang dikarenakan ketersediaan beberapa jenis barang impor untuk penanganan pandemi Covid-19 telah mencukupi kebutuhan di dalam negeri dan telah dapat disubstitusi oleh barang hasil produksi dalam negeri.
Untuk mendapatkan fasilitas insentif pajak importir harus melakukan permohonan secara elektronik melalui portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Sistem Indonesia National Single Window (ISNW), maupun diajukan secara tertulis kepada kepala kantor Bea Cukai tempat pemasukan barang kecuali untuk impor barang kiriman dan barang bawaan penumpang.
Dikecualikan untuk impor barang kiriman yang nilai pabean tidak melebihi FOB USD 500 tidak perlu mengajukan permohonan, cukup menyelesaikan dengan menggunakan Consignment Note (CN). sedangkan barang bawaan penumpang yang nilai pabean tidak melebihi FOB USD 500 tidak perlu mengajukan permohonan dengan menggunakan Costoms Decrlaration.
Sementara jika nilai barang kiriman atau nilai barang bawaan penumpang melebihi FOB USD 500, fasilitas pembebasan tetap dapat diberikan sepanjang telah mengajukan permohonan dan disetujui oleh Menteri Keuangan melalui Kepala Kantor Bea Cukai. Dokumen impor yang digunakan untuk barang kiriman atau barang bawaan penumpang yang melebihi FOB USD 500 yaitu menggunakan Pemberitahuan Impor Barang Khusus (PIBK).
Persyaratan dokumen bagi wajib pajak yang ingin mendapatkan fasilitas importir:
Apabila barang impor yang diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan tidak melebihi jumlah yang ditetapkan oleh tata niaga impor, maka cukup melampirkan surat rekomendasi pengecualian tata niaga impor dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada saat impor atau pengeluaran barang, namun jika barang yang diimpor tidak melebihi dengan jumlah yang telah ditetapkan tata niaganya dan lembaga terkait atau BNPB, maka tidak perlu melampirkan surat rekomendasi pengecualian tata niaga impor dari BNPB.
Kebijakan ini berlaku sampai berakhirnya masa pandemi COVID-19 yang ditetapkan oleh BNPB.