Sejak Undang-Undang PPN 2009 berlaku pada 1 April 2010 hingga sekarang, pengenaan PPN Pasal 16D semakin diperluas. Sebab, dalam UU PPN 2009, ketentuan ketiga yang sebelumnya ada dalam UU PPN 1994 dan UU PPN 2000 berupa syarat adanya pajak masukan yang dapat dikreditkan telah dihapus.
Bunyi selengkapnya Pasal 16D UU PPN 2009 adalah seperti berikut:
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
Meskipun saat memperoleh aktiva tidak ada PPN yang dibayar, misalnya karena aktiva dibeli dari penjual yang non-PKP, namun saat aktiva tersebut dialihkan maka atas penyerahan itu akan terutang PPN. Inilah yang membuat banyak pihak berkesimpulan bahwa ada perluasan objek pengenaan PPN Pasal 16D.
Pengecualian Pasal 16D UU PPN
Pasal 16D memberikan pengecualian atas penjualan aktiva. Pengecualian artinya, atas penjualan aktiva yang masuk kriteria ini maka tidak terutang PPN. Secara umum, syarat pengecualian adalah pajak masukan tidak dapat dikreditkan. Tidak dapat dikreditkan berbeda dengan tidak dikreditkan. Tidak dikreditkan bisa jadi sebenarnya dapat dikreditkan tetapi PKP tidak memperhitungkan sebagai kredit pajak.
Ada dua kriteria pajak masukan tidak dapat dikreditkan:
Kesimpulannya, sesuai Pasal 16D UU PPN sttd Undang-Undang HPP atau setelah berlakunya UU HPP, PPN dikenakan atas penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP, kecuali penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sesuai Pasal 9 ayat (8) huruf b UU PPN sttd UU HPP. Misal, apabila Pajak Masukan pada saat pembelian mobil tidak dapat dikreditkan, maka pada saat penjualannya tidak masuk kedalam kriteria pasal 16D dan tidak terutang PPN.
(R.F)